Senin, 17 Oktober 2016

Nasib Petani di Kota Beras


Kota Solok mungkin tidak sepopuler kota Jakarta dan Batam. Namun merupakan salah satu daerah penghasil beras ternama di Indonesia, sehingga kota Solok dijuluki “Kota Beras”, bahkan akhir-akhir ini Walikota ingin menjadikan “Kota Beras Serambi Madinah”. Lalu kenapa masyarakat petani masih jauh dari kata sejahtera? Buktinya untuk memenuhi kebutuhan pokok saja masih ngutang sana sini.



Berdasarkan pantauan sendiri secara langsung, fenomena ini disebabkan oleh biaya produksi padi yang terlalu tinggi. Sebab dalam proses produksi para petani hanya menggunakan tenaga kerja langsung (buruh tani) tanpa menggunakan teknologi kecuali traktor. Akibatnya belum ada petani Solok yang kaya dari hasil bertani. Jangankan kaya untuk hidup sejahtera saja mungkin sebuah mimpi.



Biaya panen saja mencapai 20% dari total padi bersih, belum lagi upah menanam, upah membajak sawah, menyiangi hama rumput, biaya pupuk, bibit, dan sebagainya. Ujung-ujungnya menyisakan 30-35% saja, itupun kalau lagi mujurnya. Tetapi jika lagi apesnya maka di sinilah kita bisa menyaksikan keakraban antar sesama makluk Tuhan, petani sering ngobrol dengan tikus.



Kenapa semua ini bisa terjadi? Karena pola pikir petani yang masih awam dan para buruh tani masih terbelenggu dengan prisip lama “Teknologi akan menciptakan pengangguran“ kalau sudah tidak bekerja anak bininya makan apa. Tetapi faktanya, orang yang tidak lagi menjadi buruh tani masih saja bekerja, mereka buka usaha, berdagang, kuli bangunan, dan sebagainya. Padahal manfaat teknologi akan meminimumkan biaya dan  memaksimal profit.



Selain itu peran pemerintah juga minim, ketika program pemerintah ditolak masyarakat maka mentoklah sampai disana. Bikin lagi program baru, gagal lagi ganti lagi. Seakan-akan terkesan hanya mencari program dan kegiatan saja. Kan uang kita banyak, buang2 aja gak masalah, toh uang masyarakat juga yang habis.



Seperti program penerapan teknologi pada pertanian yang ditolak buruh tani. Apa tindakan dan solusi pemerintah selanjutnya? Mengalihkan ke program jajar legowo, 4 baris pertanaman dikosongkan 1 baris biar ada rongga, sebenarnya itu cuma sistem tanam saja.



Berdasarkan Data Dinas Pertanian Kota Solok, 60% lahan sawah di Kota Solok sudah melaksanakan program tanam sistem jajar legowo dan telah mencapai 30% peningkatan produksi padi dari biasanya atas program ini.



Menurut saya angka 60% bukanlah dari hasil  program, sebab sejak zaman dahulu masyarakat petani kota Solok sudah melakukannya, kami sering menyebut dengan “Banda-banda”. Sedangkan program tanam sistem jajar legowo diciptakan baru-baru ini atas instruksi presiden Jokowi. Sementara peningkatan 30% tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Kenapa? Sebab takaran satuan padi (kaleng) yang digunakan oleh Dinas Pertanian tidak menggunakan takaran biasanya. Kaleng yang digunakannya adalah kaleng kecil tidak seperti kaleng pada umumnya. Kalau dihitung berdasarkan kaleng versi Dinas Pertanian memang benar terjadi peningkatan produksi, tetapi jika dihitung menggunakan kaleng yang biasa dipakai petani maka secara volume tidak ada bedanya. Intinya bisa dikatakan program tersebut gagal.



Kita boleh gagal tapi jangan pernah curang, apa gunanya prestasi kalau tidak punya integritas. Berikanlah data-data yang benar sesuai dengan fakta di lapangan. Sebab para pengambil kebijakan berpatokan pada data, kalau data sudah tidak benar maka kebijakan akan keliru, dampaknya akan melahirkan hasil yang salah.



Semestinya pemerintah mencari jalan keluar untuk mengatasi kendala tersebut, seperti gencar mensosialisasikan pentingnya teknologi dalam produksi dan memberikan pendidikan serta pelatihan bagi para petani termasuk para buruh tani supaya pola pikir mereka terbuka, guna membentuk masyarakat petani yang cerdas. Tidak hanya kepada segelintir kelompok Tani saja tetapi seluruh para petani dan buruh tani diberikan pendidikan serta pelatihan. Termasuk membentuk satgas untuk meninjau fakta yang sebenarnya di lapangan dan menindak tegas para pejabat instansi yang telah berbuat curang.



Bagi pejabat PEMDA, jika anda benar-benar mengatakan “Demi Warga Solok”, “Demi Kemajuan Daerah”, “Demi Kota Solok yang Hebat” lakukanlah. Jangan sampai programmu terlihat hebat hanya sewaktu dalam debat, penyampaian visi dan misimu menggebu gebu, semangatmu berapi api, kami yang dalam kondisi kritis putus asa langsung bangkit dan memandang optimis kedepan. Seolah-olah kau pahlawan yang akan terukir di rupiah. Setelah menduduki puncak tahta ternyata hanya omong kosong. Akhirnya entah kami yang tertipu entah kau yang amnesia.



Jika begini terus kapan daerah kita maju dan bisa bersaing dengan Kota-kota besar. Seandainya permasalahan ini tidak diselesaikan maka kami akan menangis melihatmu Kota Solok..