Kota Solok
mungkin tidak sepopuler kota Jakarta dan Batam. Namun merupakan salah satu
daerah penghasil beras ternama di Indonesia, sehingga kota Solok dijuluki “Kota
Beras”, bahkan akhir-akhir ini Walikota ingin menjadikan “Kota Beras Serambi Madinah”.
Lalu kenapa masyarakat petani masih jauh dari kata sejahtera? Buktinya untuk
memenuhi kebutuhan pokok saja masih ngutang sana sini.
Berdasarkan
pantauan sendiri secara langsung, fenomena ini disebabkan oleh biaya produksi
padi yang terlalu tinggi. Sebab dalam proses produksi para petani hanya
menggunakan tenaga kerja langsung (buruh tani) tanpa menggunakan teknologi
kecuali traktor. Akibatnya belum ada petani Solok yang kaya dari hasil bertani.
Jangankan kaya untuk hidup sejahtera saja mungkin sebuah mimpi.
Biaya panen saja mencapai
20% dari total padi bersih, belum lagi upah menanam, upah membajak sawah,
menyiangi hama rumput, biaya pupuk, bibit, dan sebagainya. Ujung-ujungnya
menyisakan 30-35% saja, itupun kalau lagi mujurnya. Tetapi jika lagi apesnya
maka di sinilah kita bisa menyaksikan keakraban antar sesama makluk Tuhan,
petani sering ngobrol dengan tikus.
Kenapa semua ini
bisa terjadi? Karena pola pikir petani yang masih awam dan para buruh tani
masih terbelenggu dengan prisip lama “Teknologi akan menciptakan pengangguran“
kalau sudah tidak bekerja anak bininya makan apa. Tetapi faktanya, orang yang
tidak lagi menjadi buruh tani masih saja bekerja, mereka buka usaha, berdagang,
kuli bangunan, dan sebagainya. Padahal manfaat teknologi akan meminimumkan
biaya dan memaksimal profit.
Selain itu peran
pemerintah juga minim, ketika program pemerintah ditolak masyarakat maka
mentoklah sampai disana. Bikin lagi program baru, gagal lagi ganti lagi. Seakan-akan
terkesan hanya mencari program dan kegiatan saja. Kan uang kita banyak, buang2
aja gak masalah, toh uang masyarakat juga yang habis.
Seperti program penerapan
teknologi pada pertanian yang ditolak buruh tani. Apa tindakan dan solusi
pemerintah selanjutnya? Mengalihkan ke program jajar legowo, 4 baris pertanaman
dikosongkan 1 baris biar ada rongga, sebenarnya itu cuma sistem tanam saja.
Berdasarkan Data Dinas
Pertanian Kota Solok, 60% lahan sawah di Kota Solok sudah melaksanakan program
tanam sistem jajar legowo dan telah mencapai 30% peningkatan produksi padi dari
biasanya atas program ini.
Menurut saya
angka 60% bukanlah dari hasil program,
sebab sejak zaman dahulu masyarakat petani kota Solok sudah melakukannya, kami
sering menyebut dengan “Banda-banda”. Sedangkan program tanam sistem jajar
legowo diciptakan baru-baru ini atas instruksi presiden Jokowi. Sementara peningkatan
30% tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Kenapa? Sebab takaran satuan padi (kaleng)
yang digunakan oleh Dinas Pertanian tidak menggunakan takaran biasanya. Kaleng yang
digunakannya adalah kaleng kecil tidak seperti kaleng pada umumnya. Kalau dihitung
berdasarkan kaleng versi Dinas Pertanian memang benar terjadi peningkatan
produksi, tetapi jika dihitung menggunakan kaleng yang biasa dipakai petani
maka secara volume tidak ada bedanya. Intinya bisa dikatakan program tersebut
gagal.
Kita boleh gagal
tapi jangan pernah curang, apa gunanya prestasi kalau tidak punya integritas. Berikanlah
data-data yang benar sesuai dengan fakta di lapangan. Sebab para pengambil
kebijakan berpatokan pada data, kalau data sudah tidak benar maka kebijakan
akan keliru, dampaknya akan melahirkan hasil yang salah.
Semestinya
pemerintah mencari jalan keluar untuk mengatasi kendala tersebut, seperti gencar
mensosialisasikan pentingnya teknologi dalam produksi dan memberikan pendidikan
serta pelatihan bagi para petani termasuk para buruh tani supaya pola pikir
mereka terbuka, guna membentuk masyarakat petani yang cerdas. Tidak hanya kepada
segelintir kelompok Tani saja tetapi seluruh para petani dan buruh tani
diberikan pendidikan serta pelatihan. Termasuk membentuk satgas untuk meninjau
fakta yang sebenarnya di lapangan dan menindak tegas para pejabat instansi yang
telah berbuat curang.
Bagi pejabat
PEMDA, jika anda benar-benar mengatakan “Demi Warga Solok”, “Demi Kemajuan
Daerah”, “Demi Kota Solok yang Hebat” lakukanlah. Jangan sampai programmu
terlihat hebat hanya sewaktu dalam debat, penyampaian visi dan misimu menggebu
gebu, semangatmu berapi api, kami yang dalam kondisi kritis putus asa langsung
bangkit dan memandang optimis kedepan. Seolah-olah kau pahlawan yang akan
terukir di rupiah. Setelah menduduki puncak tahta ternyata hanya omong kosong.
Akhirnya entah kami yang tertipu entah kau yang amnesia.
Jika begini terus
kapan daerah kita maju dan bisa bersaing dengan Kota-kota besar. Seandainya permasalahan
ini tidak diselesaikan maka kami akan menangis melihatmu Kota Solok..