Jumat, 09 Juni 2017

Membina Masyarakat Petani Kota Solok

Sawah Solok

Kota Solok merupakan sebuah daerah yang kecil, bahkan saking kecilnya ketika diadakan lomba lari marathon maka rutenya dirancang seperti wujud obat nyamuk atau menyerupai benang kusut, karena batas utara ke selatan hanya cukup untuk sprint di awal start saja. Memang kecil secara geografis namun Kota Solok berpotensi besar untuk menjadi sebuah daerah yang maju di Indonesia bahkan perekonomian Kota Solok tidak mustahil berada di top 5 Asia jika kita mengoptimalkan potensi yang dimiliki.

Potensi besar tersebut berada di bidang perdagangan, pertanian, jasa dan pariwisata. Bidang-bidang tersebut berperanan penting dalam roda perekonomian Kota Solok. Sementara yang menjadi kekuatan utama atau bidang unggulan dalam perekonomian Kota Solok yaitu bidang perdagangan dan jasa karena Kota Solok terletak pada posisi geografis yang sangat trategis, berada di simpul jalan lintas Sumatera sehingga Kota Solok memiliki peran sentral di dalam menunjang perekonomian masyarakat. Sedangkan bidang pertanian (khususnya padi) luput dari fokus pemerintah, padahal 21,25% dari luas Kota Solok merupakan area persawahan.

Kali ini kita akan memfokuskan pada bidang pertanian. Kebetulan saya berstatus sebagai anak petani, berkecimpung di sawah dan ladang serta berbaur dengan masyarakat petani adalah rutinitas yang saya jalani setiap hari, jadi kita bisa sedikit lebih detail mengetahui dan membahas sektor pertanian termasuk bagaimana kehidupan masyarakat petani di Kota Solok.

Saya ingin menggambarkan bagaimana realita yang terjadi dan untuk melakukannya saya mengandalkan kombinasi teori, pengamatan dan kerja nyata, ketika teori dan hasil pengamatan sesuai maka kita dapat memahami situasi tersebut.

Salah satu aspek dalam kinerja ekonomi adalah seberapa efektif suatu perekonomian menggunakan sumber daya dengan baik, tidak hanya sumber daya alam tetapi yang lebih penting adalah sumber daya manusia (tenaga kerja), karena tenaga kerja dalam suatu perekonomian merupakan sumber daya utama. Intinya kemajuan suatu daerah tergantung seberapa berkualitas sumber daya manusia yang mereka gunakan dan sumber daya alam hanyalah faktor pendukung.

Secara tradisional peranan pertanian dalam pembangunan ekonomi hanya dipandang pasif dan bahkan hanya dianggap sebagai unsur penunjang semata. Terkadang peranan utama pertanian dianggap hanya sebatas sumber tenaga kerja dan bahan-bahan pangan yang murah demi berkembangnya sektor-sektor industri yang dinobatkan sebagai “sektor unggulan” dinamis dalam strategi pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

Negara Barat menyebut pembangunan ekonomi diidentikkan dengan transformasi struktural terhadap perekonomian secara cepat, yakni perekonomian yang bertumpu pada kegiatan pertanian menjadi perekonomian industri modern. Sektor pertanian pada khususnya sama sekali tidak bersifat pasif, dan jauh lebih penting dari sekedar penunjang dalam proses pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Sektor pertanian harus ditempatkan pada kedudukannya yang sebenarnya, yakni sebagai unsur elemen unggulan yang sangat penting, dan dinamis bahkan sangat menentukan strategi pembangunan secara keseluruhan.

Permasalahan utama yang terpampang jelas yaitu rendahnya tingkat pendidikan petani dan para buruh tani di Kota Solok. Memang tingkat pendidikan tidak mempengaruhi produktivitas para buruh tani secara langsung, karena pekerjaan tersebut lebih mengutamakan kekuatan fisik ketimbang membutuhkan keahlian khusus. Tetapi tingkat pendidikan petani akan mempengaruhi perkembangan sektor pertanian, petani yang memiliki pendidikan rendah mereka terlalu mudah dikendalikan oleh pemikiran yang dogmatis sehingga pola pikir petani malah membuat mereka sulit menerima kemajuan. Akibatnya program pembangunan yang telah dirancang rapi akan sulit tercapai dan selalu berakhir sia-sia.

Hingga saat ini cara bertani di Kota Solok masih statis dan tradisional sementara daerah-daerah lain sudah menggunakan teknologi dalam keseluruhan proses produksi bahkan daerah tertinggal sekalipun sudah menerapkannya. Permasalahannya jika menggunakan tenaga manusia mengakibatkan biaya produksi menjadi tinggi, dampaknya petani hanya mendapat keuntungan yang terlalu rendah bahkan sering mengalami kerugian. Makanya tidak sedikit petani yang terlilit hutang dengan Toke, Agen ataupun Tengkulak, apabila petani sudah terikat hutang dengan mereka maka harga jual gabah sudah pasti dipermainkan.

Sebagai gambaran, untuk biaya panen saja petani harus mengeluarkan sekitar 16% dari total padi yang didapat, itupun belum termasuk konsumsi para buruh tani yang bekerja untuk memanen. Apabila dikalkulasikan seperti biaya membajak sawah, bibit, menanam, menyiangi, pupuk dan racun maka keuntungan yang didapat hanya cukup untuk makan seminggu. Itu baru gambaran jika sawah milik sendiri, bagaimana nasib petani yang menggarap sawah bagi hasil? Belum lagi jika petani gagal panen.

Apabila mengalami gagal panen terkadang petani sering curhat dengan tikus untuk menghilangkan rasa lelah dan kecewa. Tikus sawah Solok bukan hanya sebagai musuh namun juga bisa diposisikan sebagai sahabat yang baik bagi petani, bisa tempat berbagi, teman bermain, bernyanyi, bahkan duet. Kalau dipikir-pikir sepertinya tikus lebih mengerti perasaan petani ketimbang orang yang kita beri amanah. Ciee tikus..!!!

Namun bagi petani yang sadis, mereka pergi ke sawah berburu tikus, menggali lobangnya hingga ke perut bumi, jika ditemukan maka tikus tersebut dibawa ke lapangan terbuka dan dilepas lagi, lalu dikejar sambil dipukul-pukul dengan rotan dan sumpah serapah mengiringi kepergian si tikus, innalillahi, selamat jalan tikus.

Lalu kenapa kota yang terkenal dengan sawah dan berasnya masih enggan melakukan kemajuan pada sektor pertanian? Apakah cara bertani seperti itu dalam rangka melestarikan peninggalan leluhur? Atau pemerintah selaku yang memiliki wewenang tidak mampu membuat terobosan?

Ironisnya, masyarakat penghasil beras berkualitas terbaik malah mengkonsumsi raskin. Apa ada yang belum tahu bagaimana kualitas raskin yang diterima oleh masyarakat? Sekam direbus lalu dikasih cabe mungkin lebih enak dari raskin.

Pertanyaan yang sering muncul, bagaimana nasib para buruh tani apabila dilakukan penerapan teknologi pada pertanian? Apakah buruh tani akan menganggur? Solusinya yaitu memberikan mereka pelatihan tentang bagaimana mengoperasikan teknologi tersebut atau mengalihkan profesi mereka ke bidang yang lain, apakah berdagang, membuat kerajinan, atau membuka usaha lainnya. Tentu setiap bidang yang mereka jalani harus diberikan pelatihan, modal serta pendampingan.

Ada lagi permasalahan lainnya yaitu warga diberikan bantuan oleh pemerintah berupa hewan ternak dan bibit tanaman. Sekarang bagaimana perkembangan program tersebut, apakah telah memberikan kontribusi terhadap perekonomian daerah atau telah menjadikan petani sejahtera? Faktanya ternak (sapi) yang diberikan dalam bentuk berkelompok malah memecah keharmonisan bermasyarakat, gagalnya meredam keegoisan antar anggota kelompok mengakibatkan sapi tersebut dijual lalu bagi-bagi jatah. Namun ada juga yang masih bertahan tetapi sapi tersebut bisa dikatakan tidak ada perkembangan dan kondisinya jauh dari kata sehat. Begitu pula dengan bibit tanaman, hanya disimpan di lemari atau diletakkan bersama bumbu dapur.

Sejak awal kita telah mengetahui bahwa masyarakat petani memiliki pendidikan yang rendah tetapi kenapa mereka hanya diberikan bantuan materi tanpa memberikan edukasi, agar mereka memiliki keahlian tentang bagaimana cara beternak dan bertani yang baik sehingga hasil yang ingin dicapai dapat memuaskan.  

Program bantuan tanpa memberikan  edukasi sama dengan membentuk karakter masyarakat menjadi manja dan pemalas, biasanya mereka hanya bersemangat saat mengurus syarat penerimaan bantuan saja namun tidak ada dorongan atau motivasi untuk mengembangkan usaha tersebut ke depannya. Dari pada memanjakan masyarakat dengan bantuan-bantuan yang tidak logis dan realistis lebih baik alihkan anggaran tersebut untuk membuka pelatihan di kampung-kampung dalam rangka memberikan edukasi kepada petani. Program yang telah dijalankan sekarang ini ibarat balita dikasih mainan, jika tidak kita ajarkan cara memainkan dengan baik tentu mainan tersebut dibanting-banting.

Selanjutnya rantai distribusi hasil pertanian yang begitu panjang dari petani sampai ke konsumen, sehingga hasil pertanian yang dijual petani dengan harga sangat murah, konsumen malah membeli dengan harga yang mahal. Rantai distribusinya yaitu dari petani ke tengkulak diteruskan ke Toke (penampung) lalu ke pedagang pengepul diteruskan lagi ke pedagang pengecer dan baru sampai ke tangan konsumen. Proses pemasaran dan alur yang tepat akan berdampak terhadap keuntungan yang baik bagi petani. Saya juga mengajak kepada masyarakat untuk mempersingkat rantai distribusi hasil-hasil pertanian.

Tanah yang subur adalah tanah yang tidak menggunakan pupuk kimia. Namun petani lebih suka menggunakan pupuk kimia untuk tanaman dengan alasan lebih praktis dan enteng. Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung, pupuk kandang atau pupuk organik jauh lebih baik bagi kesuburan tanaman dan tidak merusak unsur hara tanah. Sekali pemakaian pupuk organik pada tanaman bisa untuk 2 bahkan 3 kali masa panen, sedangkan pupuk kimia hanya mampu untuk sekali masa panen saja dan masa tanam selanjutnya harus dipupuk lagi. Memang pupuk kimia memberikan reaksi yang cepat terhadap perkembangan tanaman namun dapat merusak unsur hara tanah dalam jangka waktu yang lama dan tanaman rentan terserang hama penyakit. Sedangkan pupuk organik mampu meminimalisir hama penyakit serta dapa meminimumkan biaya produksi tanaman. Anehnya ketika pupuk kimia langka, petani lebih memilih protes dan mengeluh ketimbang memanfaatkan pupuk kandang yang bertumpuk.

Berikutnya masalah finansial, petani enggan untuk menghitung berapa jumlah input yang digunakan, mereka cuma menghitung output yang dihasilkan saja. Padahal untuk mengetahui untung atau rugi perlu perhitungan yang utuh atas input dan output. Tak jarang “Gadang singguluang dari baban” artinya lebih besar biaya yang dikeluarkan dari pada pendapat yang diterima. Seandainya petani mendapatkan keutungan maka seluruh keuntungan tersebut malah dihabiskan untuk hal-hal yang konsumtif (tidak produktif), tidak ada uang untuk yang ditabung ataupun ditambahkan ke modal bertani. Makanya usaha pertanian warga tidak pernah membesar, sebelum terbentuknya Kota Solok hingga sekarang modal petani cuma segitu-segitu saja, mungkin cuma hutang yang membesar. Petani yang sukses adalah petani yang mampu mengelola keuangan dengan baik dan cermat.

Sekitar 1.200 Ha lahan sawah di Kota Solok tidak ada satu pun yang merupakan milik perusahaan, umumnya milik warga. Kenapa investor enggan berinvestasi di pertanian padi? Padahal komoditas padi merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan pokok yang dikonsumsi setiap hari oleh masyarakat. Alasannya, prospek pertanian padi tidak jelas. Sebenarnya apabila sektor pertanian dikelola oleh pelaku-pelaku usaha yang berkualitas tentu memiliki prospek yang sangat bagus.

Berdasarkan data statistik sekitar 23,56% dari luas Kota Solok merupakan semak dan masih banyak di sekitar rumah warga terdapat lahan kosong yang belum termanfaatkan sama sekali, luas ini lebih besar dari luas persawahan. Padahal jika semak dan lahan kosong tersebut diolah menjadi lahan yang produktif tentu dapat menunjang perekonomian masyarakat. Lahan tersebut bisa diolah menjadi perkebunan, ladang, lokasi ternak atau lokasi usaha lainnya yang memiliki nilai ekonomis.

Menurut pandangan masyarakat awam bahwa bertani hanya untuk orang-orang yang berpendidikan rendah. Jika ada lulusan pendidikan tinggi ataupun sarjana yang bertani maka penilaian miring dari masyarakat pun menghampiri, percuma sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya hanya bertani, sarjana itu di kantor bukan di sawah, sarjana yang bertani hanya sarjana gagal dan masih banyak lagi penilaian negatif lainnya. Awalnya saya bingung, sebenarnya ada apa dengan profesi petani? Hinakah menjadi petani? Setiap orang tentu memiliki alasan tersendiri untuk melakukan sesuatu hal. Bagi saya menjadi petani bukanlah memalukan, justru menjadi petani adalah pekerjaan yang mulia.

Ternyata alasan masyarakat menilai rendah profesi petani yaitu terdapat kekeliruan dalam masyarakat tentang pemahaman perbedaan antara petani dan buruh tani. Penyebab terjadinya kekeliruan tersebut karena selain berprofesi sebagai petani mereka juga merangkap sebagai buruh tani, jadi mereka tidak dapat membedakan mana petani mana buruh tani. Selain itu menurut pandangan mereka, bertani merupakan pekerjaan yang susah dan berat sebab sangat membutuhkan kekuatan fisik, lagi pula bertani tidak butuh ilmu yang tinggi. Sedangkan orang-orang berpendidikan tinggi cocoknya bekerja di kantor sebab pekerjaan kantoran lebih ringan dan bergengsi ketimbang menjadi petani.

Sebenarnya tidak hanya bertani saja apapun macam pekerjaannya, baik di sawah, di pasar maupun di kantor, jika bekerja tanpa ilmu atau hanya mengandalkan kekuatan fisik semata maka tentu terasa berat dan susah.

Miris rasanya ketika seorang sarjana pertanian enggan untuk mengaplikasikan ilmunya di sektor pertanian, mereka lebih memilih menjadi honorer rendah di kantor urusan agama atau ikut bersaing di perusahaan untuk mengisi posisi yang bukan di bidangnya bahkan ada yang milih menganggur. Lalu untuk apa dibuka sekolah pertanian jika tak ada yang sarjana yang mau bertani? Apakah hanya untuk kepentingan riset? Hasil riset akan percuma jika tidak ada yang mengajarkan kepada petani.

Harapan saya, petani bukan hanya sekedar memiliki pemahaman bertani yang baik saja tetapi juga memiliki ilmu sampai ke proses pemasaran dan mengelola keuangan. Kita akan bersama-sama mendorong terciptanya pengusaha-pengusaha agribisnis di Kota Solok.

Intinya menciptakan SDM yang berkualitas merupakan kunci utama untuk kemajuan daerah dan sebesar apapun anggaran yang dikucurkan untuk program pembangunan, namun jika kualitas SDM yang digunakan masih rendah maka program tersebut akan pasti terkendala dan harapan sulit tercapai, bahkan tidak sedikit pula program pemerintah yang gagal total. Kasihan para wajib pajak kontribusinya terbuang sia-sia dan kami sebagai masyarakat (konsumen) menanggung derita atas beban pajak yang dibebankan. Ujung-ujungnya berimbas juga ke perekonomian. Percuma membuat program ini itu kalau kualitas SDM tidak diperbaiki.

Untuk itu saya menghimbau kepada pemerintah, DPRD, golongan intelektual, mahasiswa, dan seluruh elemen masyarakat agar berperan aktif untuk membina masyarakat petani Kota Solok menjadi petani yang cerdas, produktif dan kompetitif dengan cara memberikan pendampingan dan edukasi. Lakukanlah pendekatan persuasif, kegiatan tersebut tidak harus berbentuk formal, sambil duduk di sawah, di warung  ataupun di rumah kita bisa memberikan satu atau dua ilmu kepada mereka. Tapi jangan sampai memberikan teori tanpa ada bukti, mereka takkan percaya omongan kita percayalah.

Petani yang cerdas adalah petani yang percaya riset bukan mempercayai duga-dugaan yang tak jelas. Petani yang cerdas lebih mengutamakan otak ketimbang mengandalkan otot dengan cara penerapan teknologi pada pertanian. Petani yang cerdas harus memiliki target, pekerjaan yang dilakukan bukan hanya sebagai rutinitas tetapi proses untuk mencapai target. Petani yang cerdas tidak lagi menganggap sawah sebagai media mata pencaharian tetapi menjadikan sebagai ladang bisnis, tidak lagi memandang untuk mencari sesuap nasi tetapi tujuannya adalah profit. Petani yang cerdas akan terdorong untuk menjadi pengusaha agribisnis, yang akan berpikir kreatif dan selalu berinovasi agar tak kalah saing dengan petani daerah lainnya.

Bagi para pembuat kebijakan buatlah kebijakan yang logis dan realistis, utamakan kebijakan untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas tidak terkecuali masyarakat petani. Hindari kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok atau golongan tertentu berupa proyek-proyek pembodohan. Jika kau memang “ZORO” putuslah permasalahan yang akut ini dengan pedang kemenanganmu, jika tidak maka “Si Raja Laut” akan merentangkan layarnya kembali.

Bagi instansi terkait untuk dapat mensosialisasikan hasil penelitian yang valid kepada masyarakat agar para petani memiliki ilmu pasti dalam bertani, tidak lagi berpedoman kepada hal-hal yang keliru.

Kepada DPRD, orang-orang yang telah kami tunjuk sebagai perwakilan dari kami harusnya berani dan konsisten dalam memperjuangkan aspirasi dan nasib para petani. Jangan kelihatan garang hanya di depan media, tetapi sewaktu sidang malah molor.

Kepada golongan intelektual untuk bisa menyumbangkan pikiran yang rasional demi perubahan Kota Solok yang nyata. Seperti pepatah minang “Nan cadiak bisa mambaco nan tasuruak” artinya orang yang berilmu mampu membaca peluang. Namun hindarilah dari sikap ketidakpedulian, bak kata pepatah “Lah pandai mambaco lalu manyuruak-nyuruak”.

Terakhir buat mahasiswa diminta lebih aktif, lebih kritis dan lebih berani lagi, jangan mencari aman. Serta masyarakat diharapkan untuk ikut bekerjasama dan mendukung langkah-langkah yang hendak dilakukan oleh pihak-pihak tersebut.

Nah jika semua pihak telah bekerja secara optimal tentu harapan yang telah kita gantungkan dapat terwujud dan kota kecil yang kita cintai ini menjadi kebanggaan kita bersama. Semoga langkah ini akan membentuk masyarakat petani menjadi masyarakat yang cerdas, produktif dan kompetitif. Terlahirnya pengusaha-pengusaha agribisnis di Kota Solok serta menjadikan Kota Solok sebagai tujuan para investor raksasa dan perekonomian Kota Solok memiliki pengaruh yang besar terhadap perekonomian nasional.

Jangan tunggu perubahan tapi ciptakanlah perubahan, jangan tunggu peluang tapi ciptakanlah peluang. Demikianlah motivasi yang kerap disuntikkan kepada generasi muda untuk berani mengambil langkah menciptakan momentum untuk sebuah perubahan. Jadilah kalian inisiator-inisiator hebat buat Kota Solok. Terima kasih..


· Petra