Sawah Solok |
Kota Solok merupakan sebuah daerah yang kecil, bahkan saking kecilnya ketika diadakan lomba lari marathon maka rutenya dirancang seperti wujud obat nyamuk atau menyerupai benang kusut, karena batas utara ke selatan hanya cukup untuk sprint di awal start saja. Memang kecil secara geografis namun Kota Solok berpotensi besar untuk menjadi sebuah daerah yang maju di Indonesia bahkan perekonomian Kota Solok tidak mustahil berada di top 5 Asia jika kita mengoptimalkan potensi yang dimiliki.
Potensi
besar tersebut berada di bidang perdagangan, pertanian, jasa dan pariwisata.
Bidang-bidang tersebut berperanan penting dalam roda perekonomian Kota Solok. Sementara
yang menjadi kekuatan utama atau bidang unggulan dalam perekonomian Kota Solok yaitu
bidang perdagangan dan jasa karena Kota Solok terletak pada posisi geografis
yang sangat trategis, berada di simpul jalan lintas Sumatera sehingga Kota Solok
memiliki peran sentral di dalam menunjang perekonomian masyarakat. Sedangkan
bidang pertanian (khususnya padi) luput dari fokus pemerintah, padahal 21,25%
dari luas Kota Solok merupakan area persawahan.
Kali
ini kita akan memfokuskan pada bidang pertanian. Kebetulan saya berstatus
sebagai anak petani, berkecimpung di sawah dan ladang serta berbaur dengan
masyarakat petani adalah rutinitas yang saya jalani setiap hari, jadi kita bisa
sedikit lebih detail mengetahui dan membahas sektor pertanian termasuk
bagaimana kehidupan masyarakat petani di Kota Solok.
Saya
ingin menggambarkan bagaimana realita yang terjadi dan untuk melakukannya saya
mengandalkan kombinasi teori, pengamatan dan kerja nyata, ketika teori dan hasil
pengamatan sesuai maka kita dapat memahami situasi tersebut.
Salah
satu aspek dalam kinerja ekonomi adalah seberapa efektif suatu perekonomian
menggunakan sumber daya dengan baik, tidak hanya sumber daya alam tetapi yang
lebih penting adalah sumber daya manusia (tenaga kerja), karena tenaga kerja
dalam suatu perekonomian merupakan sumber daya utama. Intinya kemajuan suatu
daerah tergantung seberapa berkualitas sumber daya manusia yang mereka gunakan
dan sumber daya alam hanyalah faktor pendukung.
Secara tradisional peranan pertanian dalam pembangunan ekonomi
hanya dipandang pasif dan bahkan hanya
dianggap sebagai unsur penunjang semata. Terkadang peranan
utama pertanian dianggap hanya sebatas sumber tenaga kerja dan bahan-bahan
pangan yang murah demi berkembangnya sektor-sektor
industri yang dinobatkan sebagai “sektor unggulan” dinamis
dalam strategi pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
Negara Barat menyebut pembangunan ekonomi diidentikkan dengan transformasi struktural terhadap perekonomian secara
cepat, yakni perekonomian yang bertumpu pada kegiatan pertanian
menjadi perekonomian industri modern. Sektor pertanian pada khususnya sama
sekali tidak bersifat pasif, dan jauh lebih penting dari
sekedar penunjang dalam proses pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
Sektor
pertanian harus ditempatkan pada kedudukannya yang sebenarnya, yakni sebagai
unsur
elemen unggulan yang sangat penting, dan dinamis bahkan sangat menentukan
strategi pembangunan secara keseluruhan.
Permasalahan
utama yang terpampang jelas yaitu rendahnya tingkat pendidikan petani dan para
buruh tani di Kota Solok. Memang tingkat pendidikan tidak mempengaruhi
produktivitas para buruh tani secara langsung, karena pekerjaan tersebut lebih
mengutamakan kekuatan fisik ketimbang membutuhkan keahlian khusus. Tetapi tingkat
pendidikan petani akan mempengaruhi perkembangan sektor pertanian, petani yang
memiliki pendidikan rendah mereka terlalu mudah dikendalikan oleh pemikiran
yang dogmatis sehingga pola pikir petani malah membuat mereka sulit menerima
kemajuan. Akibatnya program pembangunan yang telah dirancang rapi akan sulit
tercapai dan selalu berakhir sia-sia.
Hingga
saat ini cara bertani di Kota Solok masih statis dan tradisional sementara
daerah-daerah lain sudah menggunakan teknologi dalam keseluruhan proses
produksi bahkan daerah tertinggal sekalipun sudah menerapkannya.
Permasalahannya jika menggunakan tenaga manusia mengakibatkan biaya produksi
menjadi tinggi, dampaknya petani hanya mendapat keuntungan yang terlalu rendah bahkan
sering mengalami kerugian. Makanya tidak sedikit petani yang terlilit hutang
dengan Toke, Agen ataupun Tengkulak, apabila petani sudah terikat hutang dengan
mereka maka harga jual gabah sudah pasti dipermainkan.
Sebagai
gambaran, untuk biaya panen saja petani harus mengeluarkan sekitar 16% dari
total padi yang didapat, itupun belum termasuk konsumsi para buruh tani yang
bekerja untuk memanen. Apabila dikalkulasikan seperti biaya membajak sawah,
bibit, menanam, menyiangi, pupuk dan racun maka keuntungan yang didapat hanya
cukup untuk makan seminggu. Itu baru gambaran jika sawah milik sendiri,
bagaimana nasib petani yang menggarap sawah bagi hasil? Belum lagi jika petani
gagal panen.
Apabila
mengalami gagal panen terkadang petani sering curhat dengan tikus untuk menghilangkan
rasa lelah dan kecewa. Tikus sawah Solok bukan hanya sebagai musuh namun juga
bisa diposisikan sebagai sahabat yang baik bagi petani, bisa tempat berbagi,
teman bermain, bernyanyi, bahkan duet. Kalau dipikir-pikir sepertinya tikus
lebih mengerti perasaan petani ketimbang orang yang kita beri amanah. Ciee
tikus..!!!
Namun
bagi petani yang sadis, mereka pergi ke sawah berburu tikus, menggali lobangnya
hingga ke perut bumi, jika ditemukan maka tikus tersebut dibawa ke lapangan
terbuka dan dilepas lagi, lalu dikejar sambil dipukul-pukul dengan rotan dan
sumpah serapah mengiringi kepergian si tikus, innalillahi, selamat jalan tikus.
Lalu
kenapa kota yang terkenal dengan sawah dan berasnya masih enggan melakukan
kemajuan pada sektor pertanian? Apakah cara bertani seperti itu dalam rangka
melestarikan peninggalan leluhur? Atau pemerintah selaku yang memiliki wewenang
tidak mampu membuat terobosan?
Ironisnya,
masyarakat penghasil beras berkualitas terbaik malah mengkonsumsi raskin. Apa
ada yang belum tahu bagaimana kualitas raskin yang diterima oleh masyarakat? Sekam
direbus lalu dikasih cabe mungkin lebih enak dari raskin.
Pertanyaan
yang sering muncul, bagaimana nasib para buruh tani apabila dilakukan penerapan
teknologi pada pertanian? Apakah buruh tani akan menganggur? Solusinya yaitu
memberikan mereka pelatihan tentang bagaimana mengoperasikan teknologi tersebut
atau mengalihkan profesi mereka ke bidang yang lain, apakah berdagang, membuat
kerajinan, atau membuka usaha lainnya. Tentu setiap bidang yang mereka jalani
harus diberikan pelatihan, modal serta pendampingan.
Ada
lagi permasalahan lainnya yaitu warga diberikan bantuan oleh pemerintah berupa
hewan ternak dan bibit tanaman. Sekarang bagaimana perkembangan program
tersebut, apakah telah memberikan kontribusi terhadap perekonomian daerah atau
telah menjadikan petani sejahtera? Faktanya ternak (sapi) yang diberikan dalam
bentuk berkelompok malah memecah keharmonisan bermasyarakat, gagalnya meredam
keegoisan antar anggota kelompok mengakibatkan sapi tersebut dijual lalu
bagi-bagi jatah. Namun ada juga yang masih bertahan tetapi sapi tersebut bisa
dikatakan tidak ada perkembangan dan kondisinya jauh dari kata sehat. Begitu
pula dengan bibit tanaman, hanya disimpan di lemari atau diletakkan bersama
bumbu dapur.
Sejak
awal kita telah mengetahui bahwa masyarakat petani memiliki pendidikan yang
rendah tetapi kenapa mereka hanya diberikan bantuan materi tanpa memberikan
edukasi, agar mereka memiliki keahlian tentang bagaimana cara beternak dan
bertani yang baik sehingga hasil yang ingin dicapai dapat memuaskan.
Program
bantuan tanpa memberikan edukasi sama
dengan membentuk karakter masyarakat menjadi manja dan pemalas, biasanya mereka
hanya bersemangat saat mengurus syarat penerimaan bantuan saja namun tidak ada dorongan
atau motivasi untuk mengembangkan usaha tersebut ke depannya. Dari pada
memanjakan masyarakat dengan bantuan-bantuan yang tidak logis dan realistis
lebih baik alihkan anggaran tersebut untuk membuka pelatihan di kampung-kampung
dalam rangka memberikan edukasi kepada petani. Program yang telah dijalankan
sekarang ini ibarat balita dikasih mainan, jika tidak kita ajarkan cara
memainkan dengan baik tentu mainan tersebut dibanting-banting.
Selanjutnya
rantai distribusi hasil pertanian yang begitu panjang dari petani sampai ke
konsumen, sehingga hasil pertanian yang dijual petani dengan harga sangat
murah, konsumen malah membeli dengan harga yang mahal. Rantai distribusinya
yaitu dari petani ke tengkulak diteruskan ke Toke (penampung) lalu ke pedagang
pengepul diteruskan lagi ke pedagang pengecer dan baru sampai ke tangan
konsumen. Proses pemasaran dan alur yang tepat akan berdampak terhadap
keuntungan yang baik bagi petani. Saya juga mengajak kepada masyarakat untuk
mempersingkat rantai distribusi hasil-hasil pertanian.
Tanah
yang subur adalah tanah yang tidak menggunakan pupuk kimia. Namun petani lebih
suka menggunakan pupuk kimia untuk tanaman dengan alasan lebih praktis dan
enteng. Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung, pupuk kandang atau pupuk
organik jauh lebih baik bagi kesuburan tanaman dan tidak merusak unsur hara
tanah. Sekali pemakaian pupuk organik pada tanaman bisa untuk 2 bahkan 3 kali
masa panen, sedangkan pupuk kimia hanya mampu untuk sekali masa panen saja dan
masa tanam selanjutnya harus dipupuk lagi. Memang pupuk kimia memberikan reaksi
yang cepat terhadap perkembangan tanaman namun dapat merusak unsur hara tanah
dalam jangka waktu yang lama dan tanaman rentan terserang hama penyakit. Sedangkan
pupuk organik mampu meminimalisir hama penyakit serta dapa meminimumkan biaya
produksi tanaman. Anehnya ketika pupuk kimia langka, petani lebih memilih
protes dan mengeluh ketimbang memanfaatkan pupuk kandang yang bertumpuk.
Berikutnya
masalah finansial, petani enggan untuk menghitung berapa jumlah input yang
digunakan, mereka cuma menghitung output yang dihasilkan saja. Padahal untuk
mengetahui untung atau rugi perlu perhitungan yang utuh atas input dan output. Tak
jarang “Gadang singguluang dari baban” artinya lebih besar biaya yang
dikeluarkan dari pada pendapat yang diterima. Seandainya petani mendapatkan
keutungan maka seluruh keuntungan tersebut malah dihabiskan untuk hal-hal yang
konsumtif (tidak produktif), tidak ada uang untuk yang ditabung ataupun ditambahkan ke modal
bertani. Makanya usaha pertanian warga tidak pernah membesar, sebelum
terbentuknya Kota Solok hingga sekarang modal petani cuma segitu-segitu saja,
mungkin cuma hutang yang membesar. Petani yang sukses adalah petani yang mampu
mengelola keuangan dengan baik dan cermat.
Sekitar
1.200 Ha lahan sawah di Kota Solok tidak ada satu pun yang merupakan milik
perusahaan, umumnya milik warga. Kenapa investor enggan berinvestasi di pertanian
padi? Padahal komoditas padi merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan
pokok yang dikonsumsi setiap hari oleh masyarakat. Alasannya, prospek pertanian
padi tidak jelas. Sebenarnya apabila sektor pertanian dikelola oleh
pelaku-pelaku usaha yang berkualitas tentu memiliki prospek yang sangat bagus.
Berdasarkan
data statistik sekitar 23,56% dari luas Kota Solok merupakan semak dan masih
banyak di sekitar rumah warga terdapat lahan kosong yang belum termanfaatkan
sama sekali, luas ini lebih besar dari luas persawahan. Padahal jika semak dan lahan
kosong tersebut diolah menjadi lahan yang produktif tentu dapat menunjang
perekonomian masyarakat. Lahan tersebut bisa diolah menjadi perkebunan, ladang,
lokasi ternak atau lokasi usaha lainnya yang memiliki nilai ekonomis.
Menurut
pandangan masyarakat awam bahwa bertani hanya untuk orang-orang yang
berpendidikan rendah. Jika ada lulusan pendidikan tinggi ataupun sarjana yang
bertani maka penilaian miring dari masyarakat pun menghampiri, percuma sekolah
tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya hanya bertani, sarjana itu di kantor bukan
di sawah, sarjana yang bertani hanya sarjana gagal dan masih banyak lagi
penilaian negatif lainnya. Awalnya saya bingung, sebenarnya ada apa dengan
profesi petani? Hinakah menjadi petani? Setiap orang tentu memiliki alasan
tersendiri untuk melakukan sesuatu hal. Bagi saya menjadi petani bukanlah
memalukan, justru menjadi petani adalah pekerjaan yang mulia.
Ternyata
alasan masyarakat menilai rendah profesi petani yaitu terdapat kekeliruan dalam
masyarakat tentang pemahaman perbedaan antara petani dan buruh tani. Penyebab
terjadinya kekeliruan tersebut karena selain berprofesi sebagai petani mereka
juga merangkap sebagai buruh tani, jadi mereka tidak dapat membedakan mana
petani mana buruh tani. Selain itu menurut pandangan mereka, bertani merupakan
pekerjaan yang susah dan berat sebab sangat membutuhkan kekuatan fisik, lagi
pula bertani tidak butuh ilmu yang tinggi. Sedangkan orang-orang berpendidikan tinggi
cocoknya bekerja di kantor sebab pekerjaan kantoran lebih ringan dan bergengsi ketimbang
menjadi petani.
Sebenarnya
tidak hanya bertani saja apapun macam pekerjaannya, baik di sawah, di pasar
maupun di kantor, jika bekerja tanpa ilmu atau hanya mengandalkan kekuatan
fisik semata maka tentu terasa berat dan susah.
Miris
rasanya ketika seorang sarjana pertanian enggan untuk mengaplikasikan ilmunya
di sektor pertanian, mereka lebih memilih menjadi honorer rendah di kantor
urusan agama atau ikut bersaing di perusahaan untuk mengisi posisi yang bukan
di bidangnya bahkan ada yang milih menganggur. Lalu untuk apa dibuka sekolah pertanian
jika tak ada yang sarjana yang mau bertani? Apakah hanya untuk kepentingan riset?
Hasil riset akan percuma jika tidak ada yang mengajarkan kepada petani.
Harapan saya, petani bukan hanya sekedar
memiliki pemahaman bertani yang baik saja tetapi juga memiliki ilmu sampai ke
proses pemasaran dan mengelola keuangan. Kita akan bersama-sama mendorong
terciptanya pengusaha-pengusaha agribisnis di Kota Solok.
Intinya
menciptakan SDM yang berkualitas merupakan kunci utama untuk kemajuan daerah
dan sebesar apapun anggaran yang dikucurkan untuk program pembangunan, namun
jika kualitas SDM yang digunakan masih rendah maka program tersebut akan pasti terkendala
dan harapan sulit tercapai, bahkan tidak sedikit pula program pemerintah yang gagal
total. Kasihan para wajib pajak kontribusinya terbuang sia-sia dan kami sebagai
masyarakat (konsumen) menanggung derita atas beban pajak yang dibebankan. Ujung-ujungnya
berimbas juga ke perekonomian. Percuma membuat program ini itu kalau kualitas
SDM tidak diperbaiki.
Untuk
itu saya menghimbau kepada pemerintah, DPRD, golongan intelektual, mahasiswa, dan
seluruh elemen masyarakat agar berperan aktif untuk membina masyarakat petani
Kota Solok menjadi petani yang cerdas, produktif dan kompetitif dengan cara
memberikan pendampingan dan edukasi. Lakukanlah pendekatan persuasif, kegiatan
tersebut tidak harus berbentuk formal, sambil duduk di sawah, di warung ataupun di rumah kita bisa memberikan satu
atau dua ilmu kepada mereka. Tapi jangan sampai memberikan teori tanpa ada bukti, mereka takkan percaya omongan kita percayalah.
Petani
yang cerdas adalah petani yang percaya riset bukan mempercayai duga-dugaan yang
tak jelas. Petani yang cerdas lebih mengutamakan otak ketimbang mengandalkan
otot dengan cara penerapan teknologi pada pertanian. Petani yang cerdas harus memiliki
target, pekerjaan yang dilakukan bukan hanya sebagai rutinitas tetapi proses
untuk mencapai target. Petani yang cerdas tidak lagi menganggap sawah sebagai media
mata pencaharian tetapi menjadikan sebagai ladang bisnis, tidak lagi memandang untuk
mencari sesuap nasi tetapi tujuannya adalah profit. Petani yang cerdas akan terdorong
untuk menjadi pengusaha agribisnis, yang akan berpikir kreatif dan selalu
berinovasi agar tak kalah saing dengan petani daerah lainnya.
Bagi
para pembuat kebijakan buatlah kebijakan yang logis dan realistis, utamakan
kebijakan untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas tidak terkecuali
masyarakat petani. Hindari kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok atau
golongan tertentu berupa proyek-proyek pembodohan. Jika kau memang “ZORO”
putuslah permasalahan yang akut ini dengan pedang kemenanganmu, jika tidak maka
“Si Raja Laut” akan merentangkan layarnya kembali.
Bagi
instansi terkait untuk dapat mensosialisasikan hasil penelitian yang valid
kepada masyarakat agar para petani memiliki ilmu pasti dalam bertani, tidak
lagi berpedoman kepada hal-hal yang keliru.
Kepada
DPRD, orang-orang yang telah kami tunjuk sebagai perwakilan dari kami harusnya
berani dan konsisten dalam memperjuangkan aspirasi dan nasib para petani.
Jangan kelihatan garang hanya di depan media, tetapi sewaktu sidang malah
molor.
Kepada
golongan intelektual untuk bisa menyumbangkan pikiran yang rasional demi
perubahan Kota Solok yang nyata. Seperti pepatah minang “Nan cadiak bisa
mambaco nan tasuruak” artinya orang yang berilmu mampu membaca peluang. Namun hindarilah
dari sikap ketidakpedulian, bak kata pepatah “Lah pandai mambaco lalu
manyuruak-nyuruak”.
Terakhir
buat mahasiswa diminta lebih aktif, lebih kritis dan lebih berani lagi, jangan
mencari aman. Serta masyarakat diharapkan untuk ikut bekerjasama dan mendukung
langkah-langkah yang hendak dilakukan oleh pihak-pihak tersebut.
Nah
jika semua pihak telah bekerja secara optimal tentu harapan yang telah kita
gantungkan dapat terwujud dan kota kecil yang kita cintai ini menjadi kebanggaan
kita bersama. Semoga langkah ini akan membentuk masyarakat petani menjadi
masyarakat yang cerdas, produktif dan kompetitif. Terlahirnya pengusaha-pengusaha
agribisnis di Kota Solok serta menjadikan Kota Solok sebagai tujuan para
investor raksasa dan perekonomian Kota Solok memiliki pengaruh yang besar
terhadap perekonomian nasional.
Jangan tunggu perubahan tapi ciptakanlah perubahan, jangan
tunggu peluang tapi ciptakanlah peluang. Demikianlah motivasi yang kerap
disuntikkan kepada generasi muda untuk berani mengambil langkah menciptakan
momentum untuk sebuah perubahan. Jadilah kalian inisiator-inisiator hebat buat
Kota Solok. Terima kasih..
· Petra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar